Sabtu, 07 Februari 2009

Kesrepro, HIV/AIDS Bukan Sekadar Problem Biologi



Persoalan tentang kesehatan reproduksi serta penyakit HIV dan AIDS tidak dapat dipandang hanya sebagai problem biologis, tetapi juga sebagai akibat ketimpangan relasi kuasa.

Menurut Pelaksana Daerah Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Soepri Tjahjono, Kamis, cara pandang bahwa kesehatan reproduksi serta HIV dan AIDS hanya sebagai problem biologis telah
memengaruhi pengembangan agenda dan program intervensi dalam pemenuhan hak kesehatan reproduksi dan seksual, serta penanggulangan penyakit HIV dan AIDS.

Dengan cara pandang itu, program kegiatan pemenuhan hak kesehatan reproduksi serta penanggulangan HIV dan AIDS telah menempatkan rakyat sebagai obyek agenda perubahan sosial.

"Pengalaman PKBI DIY menggunakan cara pandang biologis telah memberikan pelajaran berharga mengenai apa yang dicapai dalam perubahan sosial," katanya.

Ia menambahkan, selain terjebak dalam nalar "charity", cara pandang biologis juga memunculkan penyalahan terhadap rakyat saat mengalami kegagalan program. Penyalahan ini melahirkan stigma dan diskriminasi terhadap komunitas remaja jalanan, gay, waria, lesbian, serta laki-laki dan perempuan pekerja seks.

"Kekeliruan program itu telah mendorong tumbuhnya kesadaran kritis dalam merumuskan agenda perubahan sosial PKBI DIY," katanya.

Dia mengatakan agenda terpenting adalah melakukan pergeseran paradigma, dari problem biologis dan kesalahan perilaku menjadi problem relasi kuasa, dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai agen perubahan menjadi rakyat (komunitas) sebagai aktor perubahan, dan menjadikan identitas sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan.

Pergeseran tersebut menuntut ketersediaan kerangka teori yang bisa digunakan sebagai pijakan, dan saat ini multikulturalisme dipandang sebagai kerangka teori yang paling pas, dan mampu membedah persoalan relasi kuasa serta perjuangan identitas yang berkaitan dengan isu kesehatan reproduksi, seksualitas, HIV dan AIDS, serta kekerasan berbasis jender.



Persoalan tentang kesehatan reproduksi serta penyakit HIV dan AIDS tidak dapat dipandang hanya sebagai problem biologis, tetapi juga sebagai akibat ketimpangan relasi kuasa.

Menurut Pelaksana Daerah Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Soepri Tjahjono, Kamis, cara pandang bahwa kesehatan reproduksi serta HIV dan AIDS hanya sebagai problem biologis telah
memengaruhi pengembangan agenda dan program intervensi dalam pemenuhan hak kesehatan reproduksi dan seksual, serta penanggulangan penyakit HIV dan AIDS.

Dengan cara pandang itu, program kegiatan pemenuhan hak kesehatan reproduksi serta penanggulangan HIV dan AIDS telah menempatkan rakyat sebagai obyek agenda perubahan sosial.

"Pengalaman PKBI DIY menggunakan cara pandang biologis telah memberikan pelajaran berharga mengenai apa yang dicapai dalam perubahan sosial," katanya.

Ia menambahkan, selain terjebak dalam nalar "charity", cara pandang biologis juga memunculkan penyalahan terhadap rakyat saat mengalami kegagalan program. Penyalahan ini melahirkan stigma dan diskriminasi terhadap komunitas remaja jalanan, gay, waria, lesbian, serta laki-laki dan perempuan pekerja seks.

"Kekeliruan program itu telah mendorong tumbuhnya kesadaran kritis dalam merumuskan agenda perubahan sosial PKBI DIY," katanya.

Dia mengatakan agenda terpenting adalah melakukan pergeseran paradigma, dari problem biologis dan kesalahan perilaku menjadi problem relasi kuasa, dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai agen perubahan menjadi rakyat (komunitas) sebagai aktor perubahan, dan menjadikan identitas sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan.

Pergeseran tersebut menuntut ketersediaan kerangka teori yang bisa digunakan sebagai pijakan, dan saat ini multikulturalisme dipandang sebagai kerangka teori yang paling pas, dan mampu membedah persoalan relasi kuasa serta perjuangan identitas yang berkaitan dengan isu kesehatan reproduksi, seksualitas, HIV dan AIDS, serta kekerasan berbasis jender.

Tidak ada komentar: